Saat Reputasi Brand Terancam, Manajemen Komunikasi Krisis Penting untuk Segera Diterapkan

Saat Reputasi Brand Terancam, Manajemen Komunikasi Krisis Penting untuk Segera Diterapkan

Baru-baru ini, industri kecantikan di Indonesia sedang ramai dibicarakan karena beberapa produk skincare yang dianggap klaim berlebihan (overclaim). Mulai dari klaim “hasil instan” hingga “1000x lebih efektif” beberapa brand skincare dipertanyakan klaimnya setelah diekspos oleh akun populer seperti “Dokter Detektif” di TikTok. Hal ini bisa memicu krisis kepercayaan dari konsumen. Krisis seperti ini bisa dengan cepat merusak reputasi brand, terutama di era media sosial, di mana arus informasi berlangsung super-cepat.

Merujuk pada jurnal Ambarwati (2024) berjudul Peran Public Relations dalam Mengatasi Manajemen Krisis, manajemen krisis dapat juga diartikan sebagai manajemen pengelolaan, penanggulangan atau pengendalian krisis hingga pemulihan citra perusahaan. Di satu sisi, menurut C.G. Linke krisis merupakan  ketidaknormalan dari konsekuensi negatif yang mengganggu operasi sehari-hari sebuah organisasi. Menurutnya, sebuah krisis akan berakibat pada adanya kematian, menurunnya kualitas kehidupan dan menurunnya reputasi perusahaan.

Apa Langkah Penting dalam Manajemen Krisis di PR?

Dalam menangani krisis, ada beberapa tahap sistematis. Pertama adalah identifikasi krisis, yaitu memahami seberapa besar masalah yang dihadapi brand. Langkah berikutnya, brand dapat mengumpulkan fakta lapangan dan mulai menyusun strategi menyiapkan pesan yang tepat untuk disampaikan ke publik, konsumen, atau pihak terkait lainnya. Menurut Institute for Public Relations (IPR), pesan ini harus singkat, jujur, dan berdasarkan fakta. Brand harus menghindari janji-janji manis yang justru bisa memperburuk situasi. Langkah terakhir adalah respons terhadap krisis, di mana brand berkomunikasi secara aktif untuk meredakan masalah yang terjadi.

Bukan Hanya Klarifikasi untuk Menjaga Nama Baik Brand

Sering kali, brand yang mengalami krisis terjebak dalam memberikan klarifikasi panjang yang sulit dipahami oleh public sehingga justru membuat situasi semakin keruh. Padahal menjaga reputasi tidak selalu harus dilakukan dengan memberi pernyataan defensif.

PR bisa memainkan peran kunci dengan langkah proaktif, seperti membangun kembali kepercayaan konsumen melalui aksi nyata. Misalnya, brand akan memberikan edukasi tentang kandungan produk yang sebenarnya atau menawarkan transparansi lebih mengenai proses produksi. Dalam situasi seperti ini, yang paling penting adalah fokus pada solusi nyata dan langkah-langkah yang akan dilakukan ke depan.

Tidak hanya sekadar meminta maaf, brand dapat membuktikan bahwa produk mereka tetap baik untuk digunakan, dan menjelaskan manfaatnya dengan jelas sehingga konsumen tetap bisa percaya dan akan memberikan reputasi semakin positif bagi sebuah brand. Dalam buku Professional Public Relations yang ditulis Edy Sahputra, Public Relations yang baik itu sepenuhnya faktual (berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan yang ada) dan bebas dari kecenderungan dengan bahasa memuji-muji.

Evaluasi: Belajar dari contoh Krisis untuk Masa Depan

Setelah krisis mereda, langkah yang tidak kalah penting adalah evaluasi. Menurut Harvard Business Review, evaluasi ini membantu brand melihat apa yang sudah berjalan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Dengan begitu, brand bisa belajar dari krisis dan memperbaiki strategi untuk masa depan. PR berperan bukan hanya untuk mengatasi krisis saat ini, tetapi juga mempersiapkan brand agar lebih kuat menghadapi potensi krisis di masa mendatang.

Penulis: Giana Nurallyanda